S N O W D R O P

Scottish Borders, Skotlandia, akhir Maret 2013

Hembusan angin di awal musim semi menerpa helai-helai rambut ikalku yang kubiarkan tergerai. Beberapa di antaranya terlepas dan menari-nari hingga menutupi sebagian wajahku. Aku meraihnya dan menyelipkannya kembali seperti semula ke balik telinga.

Sudah sekian menit aku berdiri di sini, namun tatapanku masih tak beranjak dari pemandangan yang menghipnotisku. Ladang snowdrop[1]. Bukan, bukan ladang. Ini lautan snowdrop..!! Di hadapanku kini terhampar ribuan tangkai snowdrop. Bunga kecil dengan mahkota berwarna putih susu dan guratan hijau jamrud di bagian dalamnya itu sungguh mempesona. Tangkai-tangkai mungil itu memenuhi bukit yang menjulang. Tak memberikan celah sedikitpun untuk rerumputan liar.

Seharusnya aku di sini bersamanya..

Aku menghela napas panjang. Rasa sesak tiba-tiba menyeruak di dadaku. Kubayangkan jika saja dia ada di sampingku saat ini. Berdua kami saling menautkan tangan, berjalan menyusuri hutan kayu di Dawyick Botanic Garden sambil menikmati hamparan snowdrop di sekeliling kami.

Selembar tiket masuk festival yang sedari tadi kugenggam kini mulai lusuh. Tanpa kusadari aku telah meremas-remasnya sedari tadi. Perih dan entah apa saja yang kini berdesakan di hatiku yang membuatku seperti ini.

Enam bulan lalu, ia yang mengajakku datang ke sini. Ia tahu, aku sangat menyukai bunga snowdrop sejak kecil. Namun kenyataannya, sekarang aku datang sendiri karena tiga bulan yang lalu ia meninggalkanku. Bagus bukan?

Hampir saja aku mengizinkan air mataku membebaskan diri agar keluar dari pelupuk mata ketika bersamaan dengan itu sebuah tepukan pelan menyentuh pundakku. Napasku tertahan saat aku menoleh dan menatap siapa yang ada di belakangku.

“Kau..?!”

***

Oxford, Inggris, dua hari sebelumnya…

Apartemen yang kutinggali mempunyai rooftop di lantai tiga, tempat Mr. Downey, pemilik apartemen, berkebun dan menanam berbagai macam bunga kesukaannya. Sebenarnya Mr. Downey melarang penghuni apartemen, terutama mahasiswa pecicilan seperti aku bermain-main di kebunnya.

Tapi malam ini, lagi-lagi aku nekat diam-diam menyelinap sendiri ke sini. Aku mengambil posisi duduk di tepi tembok pembatas sambil menggoyang-goyangkan kakiku di udara, melihat atap-atap gedung dan rumah dan lampu-lampu jalanan di sepanjang St. John Street di bawah sana.

Bukan tanpa alasan aku menyelinap ke atas sendiri di tengah udara dingin menjelang tengah malam. Apalagi alasanku kalau bukan karena aku sedang gelisah.

Sedari tadi aku hanya melamun sambil sibuk membolak-balik dua tiket festival snowdrop di tanganku. Dua tiket itu, tiket yang dijanjikan Christ untukku saat kami berdua merayakan hari jadi kami yang ke dua tahun, enam bulan yang lalu.

Argghh..!! Kugeleng-gelengkan kepalaku mengenyahkan ingatanku tentang hal itu. Kenyataannya sekarang, Christofel, ia memutuskan hubungan denganku, tiga bulan yang lalu. Tiga bulan sebelum aku berangkat ke Oxford untuk menyusulnya dan melanjutkan kuliah di sini. Perfect..!!

Sejak aku tiba di Oxford tiga bulan yang lalu aku belum pernah bertemu Christ sama sekali. Aku sudah mencarinya ke seluruh penjuru kampus, bahkan aku juga rajin mengikuti acara-acara yang diadakan mahasiswa Indonesia untuk mencari tahu keberadaan Christ. Tapi nihil. Ia seperti menguap dan hilang ke udara. Tak ada yang mengenalnya.

Beberapa hari lalu, aku menemukan dua buah tiket festival snowdrop ini di sebuah amplop di bawah pintu kamar apartemenku. Saat itu juga aku berlari menyusuri seluruh lorong di apartemen hingga ke lobi untuk mencari tahu siapa yang meletakkan tiket itu di sana. Aku yakin itu pasti Christ. Namun aku tak bertemu dengan siapapun selain Daryl yang tengah membaca buku dan menyeruput minumannya di lobi depan apartemen. Daryl, adalah sahabatku. Seorang mahasiswa dari London yang tinggal di seberang apartemenku.

“Daryl, kau lihat Christ?”

Ia melirikku sekilas, menggeleng, dan kemudian melanjutkan lagi membaca buku yang di pegangnya. Aku berdecak kesal melihat tingkahnya.

“Memangnya aku pernah bertemu dengan Christ-mu itu sebelumnya?? Kalaupun dia lewat sini, aku juga tak mungkin mengenalinya,” lanjutnya.

“Ada yang baru saja meletakkan ini di depan kamarku,” kataku sambil mengacungkan amplop itu. Dengan kesal aku menghempaskan tubuhku pada sofa di sampingnya.

“Aku yakin dia baru saja kesini. Aku pernah meninggalkan alamat apartemen ini di emailnya. Mungkin saja kan dia datang dan memberiku tiket ini, menepati janjinya mengajakku ke festival itu,” jelasku panjang lebar.

“Lalu kalau memang benar dia yang datang ke sini, memangnya kenapa?” tanya Daryl dengan nada sinis.

“Apa itu berarti masih ada kesempatan untukku kembali padanya?”

Daryl tak menjawab. Mungkin dia sudah bosan mendengarku terus-menerus mengeluh tentang hubungan kandasku dengan Christ serta cita-cita mustahilku untuk bisa kembali dengan Christ.

“Setidaknya, ini kesempatanku untuk bertemu dengannya dan membicarakan masalah kami,” kataku lagi.

“Kalian berdua sudah putus. Tak ada lagi masalah. Case closed..!!” sentak Daryl membuatku mengerutkan kening. Aku kesal dengan tanggapan pemuda Inggris kaku ini. Dia memang sahabatku, tapi tak pernah sedikitpun ia mendukungku jika menyangkut hal tentang Christofel.

Menurut Daryl, Christ telah mengecewakanku, apa pun alasannya, kembali pada Christ adalah hal paling bodoh jika aku benar-benar melakukannya.

“Siapa tahu Santa Claus yang memberi tiket itu padamu,” jawabnya tiba-tiba dengan intonasi meledek. Ia lantas berdiri dan meninggalkanku yang semakin merengut menghadapi sikapnya.

“Mana ada Santa Clause di bulan Maret, bodoh..!!” teriakku kesal.

***

“Untuk apa kau masih mengharapkannya?”

Sebuah suara berhasil membuatku berjingkat dari tempatku duduk. Lamunanku buyar saat itu juga. Saat aku menoleh ke belakang, tiba-tiba saja Daryl sudah berdiri di sana.

“Aku ingin bertemu dengannya. Sekali lagi,” tukasku tanpa menatapnya.

“Ia sudah tak mencintaimu,” jawabnya datar.

“Tidak sesederhana itu. Aku dan dia sudah lama bersama sebelumnya. Pasti ada alasan lain,” lanjutku.

“Berarti dia bosan padamu,” akhirnya Daryl menyahut.

“Apa kau datang menemuiku ke atap ini hanya untuk membuatku lebih terpuruk lagi? Begitu ya?”

Aku membelalak kesal pada Daryl yang sama sekali tak berpihak pada perasaanku. Hening menyeruak di antara kami berdua selama beberapa detik. Kami berdua sibuk dengan pikiran kami masing-masing. Aku sibuk menata pikiran dan perasaanku. Aku juga tengah meredam emosi agar tak keceplosan menonjok muka sahabatku yang menyebalkan ini.

“Apa yang kau bawa? Tiket festival snowdrop itu lagi?” tanyanya memecah hening.

Aku berusaha menyembunyikan tiket-tiket itu dengan memasukkannya ke dalam saku mantelku. Tapi gagal. Dengan sigap Daryl merebutnya. Salah satu tiket itu akhirnya lolos dan berhasil pindah ke tangannya.

“Batalkan saja ke Skotland. Untuk apa kau jauh-jauh datang ke sana. Tak ada gunanya. Dia tak akan datang,” sentak Daryl sambil merobek tiket itu tepat di depan mataku.

“Apa-apaan kau??!” teriakku.

Daryl tak bergeming. Matanya menatapku tajam dengan pandangan aneh yang tak pernah kulihat sebelumnya. Tanpa berkata apa-apa lagi, ia lalu pergi begitu saja.

“Kau harus move on, Liv..!!” teriaknya sebelum benar-benar menghilang.

Dan aku masih belum beranjak dari tempatku. Perih itu datang lagi. Aku masih terkejut menatap robekan tiket yang kini tergeletak di lantai atap ini. Rasanya seperti melihat robekan hatiku sendiri.

***

Hampir saja aku mengizinkan air mataku membebaskan diri agar keluar dari pelupuk mata ketika bersamaan dengan itu sebuah tepukan pelan menyentuh pundakku. Napasku tertahan saat aku menoleh dan menatap siapa yang ada di belakangku.

“Kau..?”

“Hai, Liv…”

“Daryl, apa yang sedang kamu lakukan di…??”

Belum sempat aku melanjutkan pertanyaanku tiba-tiba saja aku sudah berada dalam pelukan Daryl. Tubuh mungilku tenggelam di dadanya yang bidang. Aku bahkan hampir saja kesulitan bernapas kalau saja ia tak segera mengendurkan pelukannya.

“Maafkan aku…,” bisiknya.

“Untuk apa?”

“Untuk mencintaimu diam-diam selama ini, Liv. Aku hanya ingin kau memberiku kesempatan untuk membantumu melupakan Christ,” jelasnya.

Aku tak mengatakan sepatah kata pun. Rasanya aku masih terkejut dengan apa yang baru saja dikatakan sahabatku ini.

“Kau tak perlu mengatakan apapun, Liv,” ujarnya seolah mengerti apa yang sedang kupikirkan di dalam kepalaku.

Daryl memegang pundakku dan perlahan melepaskan pelukannya. Pemuda itu menatapku dengan tatapan lembut, membuatku semakin tak tahu harus bertindak seperti apa setelah ini.

“Ngomong-ngomong, tiket itu bukan dari Christ. Santa Claus yang datang menyelipkannya di bawah pintumu,” ujarnya mengganti pembahasan.

“Maksudmu??” tanyaku heran.

“dan Santa Claus itu, aku…,” lanjutnya enteng,

“Kau bercan….!!” Kali ini lagi-lagi aku tak sempat melanjutkan perkataanku. Lagi-lagi Daryl menenggelamkan aku dalam pelukannya. Dan aku merasa hangat.

Mungkin benar kata Daryl. Aku harus melanjutkan hidup. Aku harus bisa bertahan hidup meski tanpa Christ. Seperti bunga snowdrop yang sanggup bertahan hidup di tengah salju, di musim dingin. Diam-diam aku membalas pelukan Daryl lebih erat. Berharap ia juga tak akan meninggalkanku. ***

[1] Bunga tetesan salju, bunga yang tumbuh dan mampu bertahan hidup di musim dingin.

Leave a comment